Monday, December 14, 2015

Sifat-sifat gelombang cahaya
A.      Pengertian Dispersi
Dispersi adalah peristiwa penguraian sinar cahaya yang merupakan campuran beberapa panjang gelombang menjadi komponen-komponennya karena pembiasan. Dispersi terjadi akibat perbedaan deviasi untuk setiap panjang gelombang, yang disebabkan oleh perbedaan kelajuan masing-masing gelombang pada saat melewati medium  pembias.
Apabila sinar cahaya putih jatuh pada salah satu sisi prisma, cahaya putih tersebut akan terurai menjadi komponen-komponennya dan spektrum lengkap cahaya tampak akan terlihat. Umumnya berkas-berkas cahaya tak lain adalah gabungan gelombang-gelombang yang panjangnya tertentu dan terletak di daerah spectrum yang tampak.
Kecepatan gelombang-gelombang cahaya dalam hampa udara adalah sama, untuk semua panjang gelombang, sedangkan kecepatannya dalam satu bahan berbeda-beda menurut perbedaan panjang gelombang. Jadi indeks bias suatu bahan merupakan fungsi dari panjang gelombang. Suatu bahan dimana kecepatan suatu gelombang berbeda-beda menurut perbedaan panjang gelombang.

B.       Hukum Snellius Pembiasan dan Indeks Bias
Kelajuan gem (termasuk di dalam cahaya) ketika di vakum, sesuai dengan persamaan Max Well, adalah
 Nilai kelajuan itu berbeda pada medium yang berbeda. Untuk benda bening berpermeabilitas magnet µ (=ĸmµo) dan divakum µo, permitivitas listrik Ɛ (=ĸƐo)dan di vakum Ɛo pada tetapan dielektrik ĸ dan tetapan permeabilitas magnet ĸm maka kelajuan cahaya (v) di medium itu menjadi :


           

Didefinisikan adanya parameter baru yaitu indeks bias (n) sebagai hasil perbandingan antara kelajuan cahaya di vakum (c) dengan ketika di medium bening yang lain (v) yaitu :

             
dimana :
 
Biasanya medium bening yang berperan sebagai pembias memiliki ĸm1, kecuali untuk bahan feromagnet, misalnya : besi, tembaga, dan sejumlah logam lainnya. Artinya, untuk bahan non feromagnetik, tetapan  dielektrikĸ memenuhi :

 
Kenyataan menunjukkan bahwa ĸ bergantung pada frekuensi medan listrik yang terdapat pada cahaya sebagai gem. Persamaan (10.2) dan (10.4) menunjukkan adanya hubungan antara panjang gelombang (λ) denga frekuensi (v) sebagai :

Pembiasan, dalam pengertian umum, merupakan gejala pembelokan arah jalar gelombang karena kelajuan rambat gelombang berubah.Artinya, peristiwa pembiasan tidak hanya terjadi pada cahaya.Setiap perambatan gelombang, kecepatan dan  panjang gelombang dari gelombang itu dapat berubah, hanya saja frekuensi gelombang selalu tetap ketika energi gelombang itu tetap.
Jika cahaya dan udara jatuh di medium air yang beindeks bias 1,33, maka kelajuan cahaya menurun dengan faktor 1,33. Perambatan gelombang itu memiliki frekuensi yang tetap, walaupun v dan λ berubah. Bila gem jatuh di sebuah medium maka medan listrik dari gem berinteraksi dengan atom-atom medium, sehingga atom-atom bergerak dipercepat. Terdapat superposisi medan listrik di medium yang berasal dari cahaya (gem) dan dari atom-atom medium yang bergerak dipercepat. Hasil superposisi itu menyebabkan kelajuan dan arah penjalaran gem berubah.
Dengan beberapa pengecualian maka kecepatan cahaya dalam suatu zat perantara, yang akan dinyatakan dengan v, lebih kecil daripada kecepatan dalam ruang bebas. Selanjutnya, kecepatan cahaya dalam zat perantara berbeda untuk panjang gelombang yang berlainan, Sedangkan dalam ruang hampa cahaya yang panjang gelombangnya berlainan merambata denga kecepatan yang sama. Efek ini dikenal dengan nama “dispersi”. Perbandingan antara kecepatan cahaya dalam ruangan hampa dengan kecepatan cahaya yang panjang gelombangnya tertentu dalam suatu zat perantara disebut “indeks bias” dari zat perantara itu untuk suatu panjang gelombang tertentu. Indeks bias itu kita nyatakan dengan n, indeks bias untuk panjang gelombang tertentu.
TABEL 39-1
       INDEKS BIAS
(Untuk cahaya dengan panjang gelombang 589 m )
Gelas
       1,46 – 1,95
Kristal kakspat (CaCO3)
1,658
Quartz (Si O2)
1,544
Garam dapur (Na Cl)
1,544
Fluorite (Ca Fa)
1,434
Carbon disulfide
1,629
Ethyl alcohol
1,361
Air
1,3333

Jika tidak dinyatakan dengan panjang gelombangnya, maka indeks bias itu biasanya dinyatakan untuk cahaya kuning dari nyala natrium yang panjang gelombangnya 589 m . Indeks bias itu merupakan bilangan asli (perbandingan antara dua kecepatan) dan biasanya lebih besar dari satu.
n = c/v                                                                                               (39-1)

C.      Sudut Kritis
Ada dua macam sudut kritis, yaitu :
a) sudut datang kritis, bila sudut bias 90o,
b) sudut bias kritis, bila sudut datang 90o



Pada Gambar 5.11a, sinar datang dari medium optis lebih rapat (n) ke medium optis kurang  rapat (n’),  n>n’. Sinar datang pada sudut i >ikr, maka tidak akan dibiaskan lagi. Oleh karena itu terjadilah pantulan sempurna.

Jika digunakan prinsip balik cahaya pada Gambar 5.11a, yaitu sinar bias ketiga menjadi sinar datang, maka sinar datang ketiga menjadi sinar bias. Hal tersebut sama dengan yang terjadi pada Gambar 5.11b.
Perhatikan Gambar 5.11b. tiga buah sinar datang dari media optis kurang rapat (n’) dengan berbagai sudut datang dibiaskan dengan tiga buah sudut bias yang berbeda. Sinar datang ketiga pada sudut datang 90o menghasilkan sudut bias r’kr yang merupakan sudut bias terbesar.

D.      Pantulan Sempurna
Gambar (40.6) menunjukan sejumlah sinar yang berpencar dari titik sumber p dalam medium yang punya indeks bias n dan mengenai permukaan medium kedua yang indeks biasnya n, disini n>n. berdasarkan hukum snellius:

Karena n/n lebih besar dari satu, maka sin teta lebih besar dari pada sin  dan sudah terang sama dengan satu (artinya teta  = 90 ) untuk sudut  kurang dari 90 . Ini dilukiskan dalam diagram dengan sinar ketiga yang menjalar-jalar pada bidang batas dengan sudut bias 90 . Sudut datang untuk mana sinar biasanya menyinggung permukaan disebut sudut kritis dan pada diagram dinyatakan dengan c. jika sudut datang lebih besar daripada sudut kritis, maka sinus sudut bias yang dihitung berdasarkan hokum snellius,adalah lebih besar dari satu. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa bila sudut kritis terlampaui, sinar tidak akan kemedium yang sebelah atas, tetapi akan dipantulkan sempurna pada bidang batas. Pemantulan sempurna hanya dapat terjadi bila suatu sinyal menumbuk pada permukaan suatu medium yang indeks biasnya lebih kecil daripada indeks bias medium dimana sinar itu bergerak. Sudut kritis untuk 2 zat tertentu dapat diketahui dengan mengambil  dalam hokum snell. Maka kita peroleh:

Sudut kritis dari bidang batas air-kaca, dengan mengambil indeks bias kaca 1,50 adalah:
Sudut ini kurang sedikit dari 45 derajat; suatu yang menguntungkan yang memungkinkan pemakaian dalam berbagai alat-alat optik yang bersudut 45 -45 -90 derajat  sebagai bidang-bidang pantul yang sempurna. Prisma-prisma, karena pantulannya sempurna, lebih baik daripada permukaan-permukaan logam sebagai reflector  sebabnya  ialah  pertama: oleh prisma cahaya dipantulkan sempurna.

1)        Pembiasan Kaca Plan Paralel
Kaca plan paralel atau balok kaca adalah keeping kaca tiga dimensi yang kedua sisinya dibuat sejajar. Persamaan pergeseran sinar pada balok kaca:
d : tebal balok kaca (cm)
i  : sudut datang (derajat)
r  : sudut bias (derajat)
T : pergeseran cahaya (cm)

Pembiasan oleh sinar-sinar yang paraksial
Semua sinar yang berasal dari sebuah titik benda setelah dipantulkan akan didivergensikan pada sebuah titik, tetapi tidak demikian untuk sinar bias.

Perhatikan Gambar 5.7. Benda S mempunyai bayangan karena sinar-sinar pantul yaitu S’. Akan tetapi bayangan dari sinar bias tidak berkumpul di S’’ atau S’’.
Misal:s adalah jarak benda
          s’ adalah jarak bayangan karena sinar pantul
          s” adalah jarak bayangan karena salah satu sinar  bias

tidak konstan, bergantung pada besar i, berarti sinar bias tidak dapat berpotongan di satu titik atau sinar tidak diodivergensi dari sebuah titik. Jika sinar yang dipakai adalah paraksial, yaitu sinar-sinar dengan sudut jatuh yang kecil sekali, maka
akan mendekati 1.

Jadimaka sinar-sinar bias didivergensikan dari sebuah tititk. Sekarang jika dipakai keping gelas yang sejajar, dapat ditentukan letak bayangan untuk sinar-sinar yang paraksial. Misal benda berada di S, maka S’ adalah bayangan yang dibuat oleh permukaan pertama, akan merupakan benda untuk permukaan kedua yang bayangannya akan terletak di S’’.

Untuk sinar-sinar yang paraksial berlaku:

Kedalaman Sebenarnya dan Tidak Sebenarnya (Semu)
Sebuah benda yang berada pada medium pembias, akan tampak lebih dekat.
Gambar 5.9
                                                           

Pembiasan (Refraksi) Melalui Susunan Lapisan-lapisan
Jika kita mempunyai susunan lapisan-lapisan yang sejajar dari bermacam indeks bias, maka setelah keluar dari lapisan terakhir sinar datang akan dibelokkan, sesuai dengan rumus:



2)      Pemantulan Pada Prisma
Cahaya yang jatuh pada permukaan pertama prisma akan mengalami dispersi atau penguraian warna sehingga terbentuk spektrum di dalam prisma maupun setelah dibiaskan oleh permukaaan kedua. 

Prisma Pemantul
Prisma dapat juga digunakan sebagai pemantul. Pemakaiannya berdasarkan refleksi internal total.Di sini tak terjadi kehilangan energi, tetapi ada juga sedikit karena absorpsi dari bahan prisma dan karena pantulan pada permukaan tempat cahaya jatuh dan cahaya keluar menunggalkan prisma.Kecuali mempunyai reflektivitas yang tinggi, prisma tak perlu diberi lapisan perak, juga sudut-sudut antara permukaan-permukaan pantul selalu tetap. Kebanyakan prisma pemantul mempunyai sudut-sudut 45o; 45,90o; jika berada di udara 

Prisma jenis (d) memiliki sifat bahwa jika prisma diputar tidak akan mengubah deviasinya., jika α adalah sudut antara permukaan-permukaan pantul. Misal : jika α = 45o, maka deviasi = 270o.







DAFTAR PUSTAKA

Jati, Bambang Murdaka Eka & Tri Kuntoro Priyambodo., 2010, Fisika Dasar: Listrik-Magnet, Optika, Fisika Modern untuk Mahasiswa Ilmu-Ilmu Eksakta & Teknik, Yogyakarta : ANDI OFFSET.
Sarojo, Ganijanti Aby. 2011. Gelombang dan Optika. Jakarta: Salemba Teknika.
Sears, Francisweston dan Mark W. Zemansky. 1972. FISIKA UNTUK UNIVERSITAS. Jakarta: Binacipta.
Suwarna, Iwan Permana. 2014. Teori dan Aplikasi: Getaran dan Gelombang, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta